HEADLINE NEWS

Kategori

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Christo Lomon: Pengelolaan Potensi Ekonomi Perbatasan Sebagai Pendukung PAD CDOB Kabupaten Sekayam Raya



SEKAYAM,www.warta86.com – Aktivitas perekonomian dan interaksi perdagangan antar warga perbatasan telah berlangsung jauh sebelum terbentuknya NKRI yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak dan Sabah Malaysia Timur.

Pasca Konfrontasi RI – Malaysia pada medio tahun 60’n, aktivitas perekonomian serta interaksi perdagangan warga perbatasan ke dua negara semakin intensif. Intens dan eratnya hubungan interaksi perekonomian warga perbatasan kedua negara, selain disebabkan faktor hubungan kekerabatan warga perbatasan kedua negara, juga disebabkan faktor rentang kendali yang cukup jauh antara wilayah perbatasan dengan pusat-pusat produksi kebutuhan hidup yang memang harus disuplai melalui pelabuhan laut ibu kota provinsi.

Aktivitas dan interaksi yang demikian intens antra warga kedua negara ternyata memberi dampak masalah keimigrasian dan kepabeanan bagi kedua negara.
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut maka pada penghujung tahun 60’an, kedua negara RI – Malaysia bersepakat membuat perjanjian Bilateral, yang kita kenal pada saat dengan istilah Perjanjian SOSEK MALINDO, dari perjanjian tersebut untuk pelaksanaan di lapangan maka diterbitkan regulasi untuk mengakomodir aktivitas perekonomian dan interaksi perdagangan warga perbatasan kedua negara, regulasi/dibuahi produk hukum yg dikenal dengan BORDER TREAD AGREEMENT Th 1970 atau biasa disingkat degan BTA ’70

BTA ’70 memberikan payung hukum berupa fasilitas perdagangan perbatasan yang diberikan kepada warga lini 1 perbatasan untuk Kabupaten Sanggau diberikan kepada warga Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam.
Salah satu point/klausul BTA ’70, adalah warga perbatasan diberikan hak berbelanja dan diberikan bebas bea masuk dan pajak ekspor sebesar RM 600,- untuk barang kebutuhan hidup sehari-hari selama 1 bulan perorang.
BTA ’70 pada masanya memang mampu mengakomodir aktivitas perekonomian dan interaksi perdagangan warga perbatasan kedua negara, pada masanya kebutuhan hidup warga perbatasan kedua negara baik secara kuantitas maupun secara kualitas masih sebatas barang-barang kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan saja. Namun dengan berjalannya waktu sesuai dengan tuntutan kemajuan jaman, maka kebutuhan warga perbatasan semakin meningkat secara kuantitas dan secara kualitas.

Secara kuantitas yang memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup bukan hanya terbatas warga perbatasan lini 1 seperti Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam saja, warga perbatasan sekitarnya seperti Kecamatan Noyan, Beduai, Kembayan, Jangkang, Bonti, Tayan Hulu, serta Kecmatan lain disekitarnya juga krn faktor rntang kndali yg jauh sngat trgantung pmenuhan kbutuhn pokoknya dari prbatasn

Dari sisi kualitas, kebutuhan dan pola kehidupan juga meningkat, yang pada era 70 – 80’n warga perbatasan mayoritas berprofesi sebagai petani, generasi berikutnya mulai bergeser ke arah profesi perdagangan/treading (sebagai konsekuensi maju dan berkembangnya wilayah perbatasan).

BTA ’70 sebagai produk hukum yang pada masanya hanya, mengakomodir aktivitas prekonomian dan interaksi perdagangan petani dan hasil pertanian warga perbatasan, ternyata pada era th 90’n dirasakan sudh tidak up to date lagi berdasarkan kebutuhan dan kemajuan zaman.

Untuk dapat memayungi kegiatan perdagangannya pelaku usaha/pedagang perbatasan terpaksa memodifikasi penggunaan BTA ’70, untuk memasukan komoditi perdagangan dari Malaysia – RI maupun sebaliknya, namun dari kaca mata penegakan hukum tentu modifikasi penggunaan BTA ’70 tersebut adalah sebuah tindakan ilegal, kerena di BTA ’70 ada klausul yang menyatakan bahwa barang-barang yang dibeli menggunakan fasilitas BTA ’70 itu hanya boleh bredar di dua Kecamatan lini 1 Entikong dan Sekayam saja, serta tidak boleh diperjualbelikan.
Sebagai konsekuensinya mulai medio th 90’n sampai sekarang tidak sedikit pelaku usaha/pedagang perbatasan yang terpaksa bermasalah degan hukum yang disebabkan payung hukum yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Ibaratkan waktu kita masih kecil ukuran sepatu kita sesuai dengan ukuran kaki kita, sekarang kita sudah dewasa tapi masih diberi ukuran sepatu yang sama, tentu sudah tidak cocok lagi.
Payung hukumnya stagnant, sedangkan kebutuhan dan tuntutan hidup terus bergrak maju mengikuti kemajuan zaman.(Red)

Previous
« Prev Post

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *